Kamis, 09 Oktober 2014

SEJARAH DESA JAPURA




dahulu kala desa japura kidul adalah termasuk dalam keraton Japura dengan rajanya yang terkenal, yakni Amuk Murugul, putra dari Susuktunggal. Ia memilik seorang adik yang bernama Kentring Manik Mayang Sunda yang kemudian diperistri oleh Sribaduga Maharaja (Prabu Silihwangi).
Tentang istilah Japura, ada yang menyebutkan berasal dari nama putranya, yakni KI Agung Japura, tapi ada juga yang mengatakan berasal dari kata Gajahpura (gerbang masuk keraton yang berlambang gajah). Keraton Japura adalah ibukota kerajaan Medang Kamulan di sebelah Timur Cirebon, pusat pemerintahan meliputi Desa Japura Kidul, Japura Lor dan Desa Astana Japura di Kecamatan Astana Japura.
Batas-batas Japura diperkirakan, sebelah Utara Laut Jawa, Sebelah Selatan Desa Cibogo dan Desa Jatipiring, Sebelah Barat Desa Mundu Pesisir dan Desa Suci, Sebelah Timur Desa Gebang Pemimpinnya yang terkenal adalah Amuk Marugul Sakti
fersi lain sejarah japura 1.1 Sejarah Desa Pada sekitar abad IX – X daerah Astana Japura, atau disebut juga Angganapura, adalah Ibu Kota Kerajaan Medangkamulyan, yang di pimpin oleh Raja Andahiyang, seorang raja keturunan Prabu Ciung Wanara sepupuan dengan Raja Banyakwangi dari kerajaan Pajajaran. Keraton Medangkamulyan bernama Gajahpura. Kawasan Medangkamulyan pada waktu meliputi : 1. Sebelah Utara : Laut Jawa. 2. Sebelah Timur : Pulau Goseng ( Gebang sekarang ). 3. Sebelah Selatan : Manis – Luragung ( Kuningan ). 4. Sebelah Barat : Sungai Kalijaga. Lingkungan Keraton Gajahpura ( konon sebutan Japura merupakan penyederhanaan dari Gajahpura, untuk lebih memudahkan pengucapannya ) meliputi Japura Lor, Japura Kidul, dan desa Astanajapura sekarang. Pada waktu itu Kerajaan Medangkamulyan banyak mengalami peristiwa menggoncangkan seperti kerbau buntal mengamuk ditengah pasar dan Sang Putri Dewi Rara Kuning digigit ular. Raja Andahiyang mempunyai dua orang putri yang termashur akan kecantikan dan keelokannya, yaitu dewi Rara kuning dan Dewi Rogil Kuning. Tidaklah mengherankan kalau keduanya banyak yang melamar, tak terkecuali senopatinya sendiri yang bernama Senopati Amukprugul bermaksud meminangnya. Oleh karena maksudnya itu, Sang senopati mengajukan permohonan kepada Raja Andahiyang agar berkenan mengadakan Sayembara (perang Tanding) antara Dia dengan para pelamar lainnya, dengan maklumat “Barang siapa berhasil mengalahkan Senopati Amukprugul, Itulah yang berhak menjadi Suami Dewi Rara Kuning”. Permohonannya dikabulkan Raja Andahiyang. Mendengar sayembara tersebut, Pangeran Mundingkawati atau Mundingkawangi putra Raja Banyakwangi dari kerajaan Pakuan memohon restu kepada ayahandanyauntuk mengikuti sayembara di kerajaan Medangkamulyan, karena Ia pun ingin mempersunting Sang Putri dewi Rara Kuning. Atas Restu Ayahandanya, berangkatlah Pangeran Mundingkawangi menuju Medangkamulyan. Ketika tiba di Alun-alun Gajahpura, Senopati Amukprugul sedang sesumbar menantang setiap Pelamar yang ingin bitotatama jogol bagalan pati dengannya, karena hamper seluruh pelamar telah dikalahkan. Majlah Sang Pangeran Mudingkawati menandingi Senopati Amukprugul. Sang Raja Andahiyang waspada permana tinggal sajeroning winarah sangat khawatir, karena yang maju kemedan laga adu jajaten dengan senopati Amukprugul adalah kemenakannya sendiri. Oleh karena beliau terlanjur mengadakan sayembara perang tanding yang tidak mingkin dibatalkan, maka untuk menghilangkan kekhawatirannya, beliau memerintahkan Maha Patih Jayabrata mengawasi jalannya perang tanding, dengan maksud apabila pangeran Mundingwangi terdesak atau dikalahkan Senopati Amukprugul tidak terus dibunuhnya. Saat pertempuran berlangsung sengit, di mana masing – masing menggunakan ajian andalannya, terjadilah suatu keanehan. Pengeran Mundingkawangi seakan-akan bertahan, sedangkan Senopati Amukprugul menyerang habis-habisan. Adapun yang menjadi penyebabnya pada waktu itu Pangeran Mundingkawangi menerima petunjuk halus ( wangsit / bimbingan ) dari eyang nenek ayahnya, Dewi Ratu Purbasari putri sulung Prabu Ciung Wanara. Sang Eyang Nenek Ratu Purbasari menjelma sebagai seekor capung mas ( papatong emas- bhs sunda. ). Wangsitnya agar Pangeran Mundingkawangi memancing kelemahan Senopati Amukprugul, dengan menggunakan siasat halus. Sang Cucu harus mundur terus kea rah timur laut hingga melewati Tegalampes. Kalau sudah lurus ke sebelah utara Pedukuhan Dukuhwerakas ( Rawaurip sekarang ), seranglah dengan tiba-tiba dan peganglah pinggang sebelah kirirnya, terus dibantingkan ke tanah, di sanalah kelemahan Si Amukprugul. Sang Pangeran Mundingkawangi mengikuti petunjuk halus Eyang Neneknya. Segala siasat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya hingga Amukprugul terpancing dan dapat dikalahkan. Sang Senopati rubuh bermandikan darah, tidak lama kemudian dia berubah menjadi seekor Belut Putih. Tampilah Pangeran Mundingkawangi sebagai pemenang sayembara dan berhak memperistri Sang Putri Dewi Rara Kuning. Sementara itu, di negeri Wanagunarja Ki Godong Buntalan menderita sakit parah. Walau sudah berusaha kemana-mana untuk mengobati sakitnya, tak seoangpun yang sanggup menyambuhkannya. Oleh karena itu, ia memasrahkan diri kepada Yang Maha Agung dengan cara bersemedi hingga ia menerima ilham agar ketiga putranya yakni Pangeran Anggana, Pangeran Anggini dan Pangeran Ayuman Tampainganan mengabdikan diri ( ngarasula ) kepada Raja Andahiam di Keraton Gajahpura Kerajaan Medangkamulyan. Sebelum ketiga putranya berangkat, Ki Godong Buntalan memberi wejangan agar selama dalam perjalanan ketiga putranya dilarang berteduh apalagi minum meskipun dikala panas terik dan sangat dahaga. Kemudian apabila menemukan kolam sekalipun hareudang bayeungyang, haus dan dahaga, jangan pula minum atau mandi. Selesai memberikan amanat, wafatlah Ki Godong Buntalan, kemudian ketiga orang putranya berangkat menuju Medangkamulyan. Pada masa itu musim kemarau melanda sangat hebat, daun-daunan luruh, pohon-pohonan banyak yang mati, rumput-rumputan kering kerontang,demikian pula dengan hewan ternak bergelimpangan mati karena kehausan. Di tengah-tengah perjalanan ketika hampir sampai ke tempat tujuan Keraton Gajahpura, Pangeran Anggana kepayahan seakan-akan tak sanggup meneruskan perjalanan. Kebetulan disana ada sebatang pohon waru yang tinggi dan rindang serta menyejukkan. Segeralah Pangeran Anggana berteduh bernaung dibawahnya. Kedua adiknya berteriak memperingatkan agar kakaknya tidak melanggar nasihat orang tua (ayahnya). Pangeran Anggana tidak menggubris peringatan adik-adiknya, sehingga suratan takdir bagi dirinya, begitu berteduh dibawah pohon waru, ia berubah jenis (bentuk) menjadi seekor ular besar bertanduk yang menyeramkan dan menakutkan. Kedua kakak beradik ini menangis sedih mengapa kakaknya tidak mendengar dan tidak memperhatikan amanat ayahnya. Dengan meneteskan air mata Sang Ular Pangeran Anggana menasihati kedua adiknya agar terus melanjutkan perjalanan dan jangan coba-coba melanggar nasihat ayahnya seperti dirinya. Ia mengatakan: “walaupun kakak berwujud lain, kakak akan tetap mencintaimu dan membantumu. Tunggulah kakak di Gajahpura. Apabila ada yang digigit ular, obatilah olehmu dengan daun siagadopa yang kembar setangkai sebelah menyebelah menelentang dan menelungkup. Oleskanlah serbuk daun itu pada luka bekas gigitan. Selamat berjumpa di Gajahpura.” Baru saja kedua kakak beradik ini melanjutkan perjalanan, Pangeran Anggini tak sanggup lagi menahan haus dan dahaga. Ketika melewati sebuah kubangan (kolam), Pangeran Ayunan (Tampaingenan) sangat khawatir kakaknya akan melanggar lagi nasihat ayahnya. Dan terbukti, meskipun pangeran Anggini telah diperingatkan, ia minum dan mandi dikolam itu sepuas-puasnya dan tidak menghiraukan nasihat sang adik. Tidak lama kemudian nasib Pangeran Anggini tidak berbeda dengan kakaknya Pageran Anggana. Ia berubah jenis menjadi seekor kerbau buntal jantan yang sangat besar. Sebelum pergi meninggalkan adiknya Ia berpesan pada adiknya: “Adikku saying, jika nanti ditengah-tengah pasar ada kerbau buntal mengamuk, sudah barang tentu tidak ada seorangpun yang berani mendekatinya, hanya engkaulah yang bisa menangkapnya. Ingatlah wahai adikku! Peganglah ujung ekornya, meyelinaplah engkau kesana dan terus tangkap dari bagian depannya erat-erat, ia tidak akan berbuat apa-apa kecuali menunduk dan berlutut.” Pangeran Ayunan bersedih hati dengan kejadian beruntun yang menimpa kedua kakaknya. Dalam hatinya berkata: “Apakah nanti dirinya akan berubah jenis menjadi makhluk lain seperti kedua kakaknya”. Setelah itu, dengan tekad membaja ia melanjutkan perjalanan menuju Gajahpura. Sesampainya Pangeran ayunan di Alun-alun Medangkamulyan, ia masih diliputi perasaan cemas dengan kejadian yang menimpa kedua kakaknya, kemudian ia duduk bersila untuk bersemedi mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Dalam melaksanakan semedinya, ia mendengar suara gaib tanpa rupa mengingatkannya. “Wahai Ayunan adikku, janganlah engkau cemas dan khawatir, tabahkanlah hatimu, bahwa kesaktian kakakmu tentu lebih daripada orang (penguasa) yang ada di Keraton Gajahpura. Teruskanlah keinginanmu, selamat berjuang.” Sementara itu, dengan kekalahan senopati Amukprugul yang kemudian berubah wujud mejadi seekor belut putih disebuah sumur yang berisi banyak lumpur di Tegalampen Pakuhwerakas (sekarang Rawaurip), Prabu Andahiyang sangat sedih karena kehilangan senopatinya, namun tetap bersyukur kemenakannya tidak terbunuuh karena memperoleh kemenangan. (Sumur berisi lumpur disebut juga Sumur Langgeng atau Sumur Lumer. Langgeng artinya abadi, sekalipun musm kemarau sumur itu tetap berisi air; Lumer artinya berisi tanah encer/lumpur yang tidak akan mengeras). Seperti telah dijanjikan dalam sayembara, Pangeran Mundingkawangi berhak untuk bersanding dipelaminan memperistri Putri Dewi Rara Kuning yang cantik jelita. Upacara perkawinan pun dipersiapkan dan akan diselenggarakan secara besar-besaran. Oleh karena Pangeran Mundingkawangi adalah kemenakannya sendiri, upacara perkawinan akan diserahkan kepada Maha Patih Jayabrata. Sebeum sampai pada upacara perkawinan, Sang Putri Dewi Rara Kuning disyaratkan mandi dihalaman kepatren dengan diiringi oleh para emban. Ketika Dewi Rara Kuning tengah enak-enakya mandi, Ular Anggana telah siap meyambarnya. Ketika Sang Putri akan naik ke darat, disambarlah kakinya dan terus dipagutnya. Dengan kejadian ini gegerlah masyarakat Gajahpura Medangkamulyan. Dicarilah ahli pengobatan ke berbagai pelosok untuk mengobati Sang Putri, namun tak seorangpun yang mampu mengobati. Patih Jayabrata yang sibuk melaksanakan perintah Raja Prabu Andahiyang untuk mencari orang yang mampu meyembuhkan Sang Putri, secara kebetulan melihat seorang jejaka sedang menyendiri dibawah pohon beringin ditengah alun-alun. Setelah didekati, bertanyalah ia kepada sang jejaka. Siapakah engkau dan darimana asalnya? Mengapa menyendiri disini? Jejaka tadi yang tidak lain adalah pangeran Ayunan (Tampaingenan) menjawab bahwa dirinya berasal dari Negara Buntalan Wangunarja dan Jauh-jauh datang ke Japura untuk membaktikan diri kepada prabu raja Andahiyang sesuai denganwasiat ayahandanya. Atas kejadian yang menimpa Sang Putri, Maha Patih Jayabrata mencoba meminta tolong kepadanya untuk memberi pengobatan. Pangeran Ayunan mengetahui bahwa gigitan ular itu adalah gigitan ular Anggana (kakaknya). Teringat akan nasihat kakaknya ketika berubah bentuk sewaktu berteduh dibawah pohon waru, dengan rendah diri disanggupilah permintaan itu, tetapi sebelumnya terlebih dahulu memohon ijin untuk mencari dedaunan obatnya. Setelah Pangeran ayunan mendapatkan daun siagadopa kembar setangkai, ia datang ke keraton, kemudian daun itu ia jadikan serbuk dan dioleskan pada bekas gigitan ular. Sungguh ajaib, hanya dalam hitungan luka parah Sang Putri sembuh seketika. Berita kesembuhan Sang Putri disambut suka cita seluruh rakyat Medangkamulyan. Baru saja Sang Putri Dewi Rara Kuning sembuh dari sakitnya, tiba-tiba tersiar berita ada keributan dipasar sehingga suasana menjadi kacau balau, orang-orang panik berlarian tidak tentu arah masing-masing mencari keselamatan, dikarenakan ada seekor kerbau buntal yang mengamuk ditengah-tengah pasar. Korban pu berjatuhan, ada yang luka parah, banyak pula yang pingsan. Segera Prabu Andahiyang memerintahkan Maha Patih Jayabrata untuk mengambil tindakan pengamanan melumpuhkan atau menangkap kerbau buntal. Meskipun prajurit dikerahkan sekuat tenaga, akan tetapi mereka tidak sanggup melumpuhkannya. Tidak sedikit pula prajurit yang menjadi korban keganasan kerbau yang sangat beringas tersebut. Akhirnya Sang Prabu Andahiyang dan Mahapatih Jayabrata mencoba menawarkan kepada Pangeran Ayunan untuk meredakan kejadian dan menangkap kerbau itu. Dengan rendah diri Pangeran Ayunan menyanggupinya. Sesuai dengan Nasihat kakaknya Pangeran Anggini yang berubah menjadi kerbau buntal ketika kakaknya mandi dan minum pada sebuah kubangan ditengah-tengah perjalanan menuju Medangkamulyan, Sang Pangeran melangkahkan kakinya dengan hati-hati dan percaya diri menuju kesebelah kiri, lalu ekor kerbau yang beringas itu segera ia pegang erat-erat. Sungguh kejadian yang luar biasa, tiba-tiba kerbau itu menjadi jinak dan berlutut. Riuh rendahlah orang-orang yang menyaksikan kejadian itu, seraya mengagumi keperkasaan Pangeran Ayunan. Suasana pun menjadi aman dan tenteram. Atas restu Raja Prabu Andahiyang, perkawinan yang semula hanya akan dilangsungkan antara Dewi Rara Kuning dengan Pangeran Mundingkawangi, juga dilaksanakan antara Dewi Rogil Kuning dengan Pangeran Ayunan yang diambut gembira oleh seluruh rakyat dengan pesta yang berlangsung amat meriah. Keraton selanjutnya menjadi tiga bagian, yakni Medangkamulyan, Anggunapura dan Gajahpura yang kemudian dikenal dengan sebutan Japura. Daerah Japura yang melingkar meliputi Luragung Manis, Sungai Kalijaga dan Pulau Goseng daerah naungan Kerajaan Pajajaran.
Daerah Japura ketika agama islam mulai berkembang sekitar abad XIV-XV tetap seperti pada masa kekuasaan Raja Prabu Andahiyang yaitu:
Sebelah selatan : berbatasan dengan daerah Luragung Manis (daerah Kuningan) Sebelah Timur : berbatasan dengan P. Gosong (Gebang) Sebelah Utara : berbatasan dengan Laut Jawa Konon ketika penduduk Japura pertama kali memeluk agama Islam, tempat yang dipakai untuk beribadah adalah “Mesjid Singkil” di Desa Astanajapura sekarang. Suatu ketika, karena mereka baru memeluk agama Islam, mereka masih kadung terhadap kepercayaan lamanya (Hindu/Budha), seakan-akan mereka itu “madep rai mungkur ati”, hingga ditengah-tengah Masjid tergantung kepala Babi. Setelah hal ini diketahui Sinuhun Purba (Sinuhun Gunung Jati), beliau merasa malu akan perbuatan pura-pura penduduk Japura. Oleh karena itu, beliau mengatakan aja sok pura-pura (itulah sebabnya daerah ini disebut Japura). Beliau bermusyawarah dengan Rama Ua Pangeran Cakrabuana (Mbah Kuwu Cirebon) untuk mengenyahkan mesjid tersebut dan diganti dengan yang baru serta tempatnya pun harus berpindah. Seketika itu Mesjid Singkil ditendangnya, dan konon mesjid ini jatuh di Pulau Nusakambangan, dimana jenis dan bentuknya diyakini masih ada sampai sekarang berupa batu (membatu), demikian pula tiang-tiang dan atapnya belum berubah (seperti bentuk lama). Hal ini telah dibuktikan oleh salah seorang pahlawan pejuang kemerdekaan RI putra Japura kidul yakni Kiyai Mursid yang ditawan oleh Militer Belanda semasa Aksi Militer I tahun 1947 yang ditawan dipesantren kluwut kabupaten Tegal dan diasingkan di Pulau Nusakambangan. Sebagai pengganti Mesjid Singkil (mesjid Japura Lama) yang ditendang Mbah Kuwu Cirebon, beliau sanggup menggotong/memindahkan Mesjid Japura Lor (Mesjid Lawas) yang diletakkan disekitar Alun-alun Japura Lor (Japura Kidul Sekarang), dalam tempo hanya satu malam. Mesjid Lawas adalah Mesjid yang dikeramatkan penduduk (Sekarang merupakan mesjid Jamie kedua).
ASAL MULA KERAJAAN MEDANGKAMULYAN Mula-mula kerajaan Galuh Pakuan, berpindah menjadi Galuh Pajajaran. Prabu Jaya Sengara yang berkedudukan di Rawayan banten memiliki putra : 1. Elang Bernali, berputra Elang Magenggung 2. Elang Welang, berputra Adipati Awangga Prabu Pajajaran berputra : 1. Prabu Walangsungsang 2. Dewi Rarasantang 3. Prabu Jaya Songara (Kian Santang) Adipati Awangga berputra Elang Tampian berkedudukan di Sindang Laut. Elang Tampian berputra Elang Junud. Elang Junud berputra : 1. Elang Cakra Madenda 2. Pangeran Papak.
Pangeran Papak diangkat menjadi Sultan Kanoman dengan gelar Sultan Giri Laya, berputra lima orang.
1. Pangeran Natakusumah, berkedudukan di Mertapada Wetan; 2. Pangeran Sumadireja, di Mertapada Wetan 3. Pangeran Sumadiningrat, di Leuwidingding 4. Pangeran Alibasah, di Palimanan; dan 5. Pangeran Bratakusumah, di Kanoman Cirebon. Pangeran Elang Cakra Madenda beristrikan Nyi Dewi Citra Sari dari Lengkong Kuningan yang terkenal akan keahliannya membuat pandai di Taraju. Biasanya parkakasyang dibuat di Taraju itu hingga sekarang ujungnya dibuat tumpul (tidak tajam), sedangkan bagian yang tajam terdapat pada pangkalnya. Konon salah satu penyebabnya adalah karena dijilat lebih dahulu oleh Pangeran Cakra Madenda. Sejarah Japura dizaman Islam tidak terlepas dari sejarah Konda Carub Cirebon dan dapat dihubungkan dengan keturunan Pangeran Natakusumah dan Pangeran Sumadireja di Mertapada. Tempat-tempat penting kuburan keramat dan bersejarah di Japura Kidul/Japura Lor : 1. Ketapang : Patilasan Prabu Pajajaran 2. Pakuan : Patilasan Prabu Galuh Pakuan Pajajaran 3. Patamanan : Patilasan Lembu Andana dan Lembu Andani 4. Gedongan : Kuburan Syah Lembu rokhman dan Pangeran Abdul Jamil 5. Sugihwaras : Kuburan Pangeran Sugihwaras (aslinya tidak diketahui) 6. Kroya : Patilasan Pangeran Manonjaya 7. Mesjid Singkil di Desa Japurakidul 8. Mesjid peninggalan Mbah Kuwu Cirebon Dari kedelapan tempat tersebut yang masih terdapat juru kuncinya hanya dua, yaitu di Gedongan bernama Kadra (berumur 60 tahun, dan Kroya bernama Wasagad (76 tahun). 9. Sumur Kejayaan (Sumur Pemujaan) : patilasan Ibu Perawan Sunti.
AZIMAT PERKAKAS / BENDA KUNO Perkakas kuno di Japura Lor, Japura Kidul, dan Astanajapura tidak diketahui dengan pasti keberadaannya, tetapi hanya tinggal namanya saja, diantaranya : 1. Tumbak Sanglur 2. Keris Si Gagak 3. Keris Sangkelat 4. Canoti Keempat perkakas Kerajaan Japura tersebut merupakan alat yang terkenal keampuhannya.





MAKAM-MAKAM BERSEJARAH JAPURA
Di desa japura lor terdapat makam RATU JAPURA PANDAN SARI DAN PRABU AMUK MARUGUL dan terdapat tanah panguragan yg kemungkinan itu tapakan atau petilasan NYIMAS AYU GANDA SARI.
Makam ini di wilayah jalan raya japura.
Di makam blok pamatan terdapat petilasan pangeran panjunan dan makam-makam wayang dan seorang dalang.
Di blok karang panggang terdapat petilasan pangeran kejaksaan dan makam leluhur.
Dan makam sumur keramat mesigit lawas ki gede japura terdapat makam ki gede japura atau ki ageng japura dan raden kuncung dan masih banyak lagi..tokoh leluhur japura.
Di desa japura kidul
terdapat makam" kuno yg berukuran panjang dan lebar .
Di yakii makam itu adalah makam gedongan makam senjata japura.
Di makam gedongan terdapat petilasan prabu siliwangi..
Petilasan Galuh pakuan pajajaran..
Makam ki gede gedongan.
Makam para ulama
petilasan pangeran sutawijaya
makam syech lembuh rokhman dan pangeran abdul jamil..
Di makam pertamanan terdapat petilasan lembu andana dan lembu andini.
Sumur kejayaan petilasan ibu perawan sunti.
Dan terdapat masjid agung keramat japura peninggalan mbah kuwu cirebon dan sunan gunung jati.
Di japura bakti
terdapat makam pangeran sugih waras di yakini makam ini adalaj makam pusaka/senjata.
Di blok ketitang di makam kroya terdapat makam pangeran welang/pangeran alas dan pangeran mamon jaya.
Di blok babadan terdapat petilasan nyi retna cempaka mulya.
Di desa astana japura
terdapat makam dan petilasan pangeran sindang garuda dan guru spiritual syech abdul iman dan makam" para leluhur dan para ulama.
Demikianlah yg saya tw makam-makam bersejarah di japura , masih banyak lagi makam dan petilasan di japura.
‪#‎japura‬ adalah icon cirebon






Tidak ada komentar:

Posting Komentar